Selasa, 20 November 2007

WHAT IS DIALOGUE?

Quoted from:

http://www.viewpointlearning.com/about/dialogue.shtml

Dialogue is a special kind of discourse employing distinctive skills to achieve mutual understanding and mutual trust and respect.

Dialogue allows people to connect at a deeper level. Participants in dialogue report that the experience of dialogue yields specific benefits and results.

Dialogue:

  • Dispels mistrust and creates a climate of good faith
  • Breaks through negative stereotypes, revealing participants' common humanity
  • Shifts the focus from transactions to relationships, creating community
  • Makes participants more sympathetic to one another even when they disagree
  • Prepares the ground for negotiation or decision-making on emotion-laden issues
  • Helps bridge subcultures and clarify value conflicts
  • Expands the number of people committed to the process
  • Brings out the best rather than the worst in people

To explain dialogue we like to contrast it with debate, a more common form of discourse. The goal of debate is winning; the goal of dialogue is learning.

Dialogue is about learning:

Debate is about winning:

Assuming that others have pieces of the answer

Assuming that there is one right answer – and you have it

Collaborative: attempting to find common understanding

Combative: attempting to prove the other side wrong

About finding common ground

About winning

Listening to understand and find a basis for agreement

Listening to find flaws and make counter-arguments

Bringing up your assumptions for inspection and discussion

Defending your assumptions

Re-examining all points of view

Criticizing the other side's point of view

Admitting that others' thinking can improve your own

Defending your views against others

Searching for strengths and value in the other position

Searching for weaknesses and flaws in the other position

Discovering new possibilities and opportunities

Seeking an outcome that agrees with your position

Senin, 19 November 2007

Dialog Raja Abdullah dan Paus

Jika ditanya the wind of change di tahun 2007 yang menjanjikan masa depan, para pakar berita dunia sepakat menyebut: perjumpaan dialogal Raja Abdullah dari Arab Saudi dengan Sri Paus Benediktus XVI di Vatikan awal November. Sebuah perjumpaan yang digambarkan sebagai “cordial meeting that allowed them to touch on topics close to their hearts”.

Ketika manusia adalah hatinya, dialog yang mengubah dan menjanjikan perubahan tata dunia adalah dialog dari hati ke hati itu sendiri. Demikian dialog Raja Abdullah dengan Sri Paus di Vatikan.

Sejak tata dunia dipondasikan pada prinsip-prinsip fenomenologis pengalaman manusiawi, kehidupan societas dunia telah dan makin bergeser secara ajaib kepada kolaborasi, co-eksistensi, dialogalisasi. Societas dialogal adalah cita-cita sekaligus melukiskan sebuah karakter keakraban humanis tata hidup bersama manusia-manusia yang by nature (dari kodratnya) plural dan, karenanya, dialogal.

Keindahan hidup manusia pertama-tama terletak pada ekspresi kebersamaannya. Sebuah aktivitas peminggiran manusia lain adalah kenaifan. Dan, kebersamaan yang paling indah itu berada dalam ranah dialogal kehidupan.

Historical Breakthrough

Rupanya sudah sejak lama pribadi Raja Abdullah menampilkan karakter dialogal. Ketika masih sebagai Putera Mahkota, pada tahun 1999 ia pernah berjumpa dengan almarhum Paus Yohanes Paulus II di Vatikan. Tetapi, kehadirannya kali ini merepresentasikan sebuah peristiwa breakthrough pertama kali dalam peradaban sejarah relasi Vatikan dan Arab Saudi khususnya serta dunia Islam dan Katolik pada umumnya. Dialogalitas Raja Abdullah mengalir dari kharisma pribadinya.

Sementara itu, cordially welcoming dari Sri Paus Benediktus XVI berada dalam ranah dialogalitas Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II. Sri Paus pernah sangat prihatin berkaitan dengan political misleading atas kuliahnya di Regensburg beberapa waktu yang lalu. Ketika Almarhum Yohanes Paulus II gencar mempromosikan dialog perdamaian dengan semua umat beragama, Kardinal Joseph Ratzinger (kini Benediktus XVI) adalah rekan-promotor yang secara doktrinal-intelektual-spiritual hand in hand bersamanya.

Raja Abdullah dan Benediktus XVI adalah dua Pangeran di planet kita yang percaya bahwa the wind of change itu bernama dialog. Tata dunia tidak bisa diubah oleh kekerasan, dominasi kekuatan militer, pembasmian atau penyudutan kelompok yang satu oleh kelompok yang lain. Perubahan tata dunia memiliki komponen karakteristik dialogal. Bukan invasif, tetapi kolaboratif.

Relevansi

Kendati kolonialisme telah punah, invasi dan kekerasan toh kian menjadi-jadi. Sebagian pemimpin dunia malah secara naif di sana sini masih meyakini diktatorisme dan totaliterisme dengan aneka bungkus “demi keamanan” nasional dan internasional. Pada intinya semuanya mengatakan pelenyapan kodrat dialogalitas manusia.

Kebrutalan di Myanmar, kekerasan di Pakistan dan satu dua negara Amerika Latin serta beberapa di Afrika, di luar konflik Timur Tengah, merupakan contoh aktualnya. Dalam ranah komunitas pluri-religius, tatanan pun makin menampilkan kecenderungan eksklusivisme, komunalisme, monolitisme, bahkan anarkhisme (seperti beberapa kasus di beberapa wilayah tanah air kita belakangan ini).

Kendati antara Vatikan dan Saudi Arabia belum ada relasi diplomatik, pertemuan in cordial atmosphere dari Raja Abdullah dan Sri Paus Benediktus XVI memiliki pesan dan makna relevan yang menjanjikan masa depan bagi: perdamaian relasi Arab dan Barat, perbaikan ruang hak asasi manusia di jazirah Arab untuk sekedar dapat melaksanakan hak-hak religiusnya, solusi perdamaian yang tidak mudah di Palestina dan Israel, dan relasi umat beragama di planet kita.

Jurubicara Vatikan melukiskannya demikian, “In particular they renewed their commitment to inter-cultural and inter-religious dialogue, aimed at peace and fruitful cohabitation among men and people, and the value of collaboration between Christians, Muslims and Jews for the promotion of peace, justice and spiritual and moral values” (l’Osservatore Romano, 8 November 2007).

Di akhir perjumpaan, Sri Paus berdoa semoga seluruh rakyat Arab Saudi tetap diberkati dengan kelimpahan dan kesejahteraan, sambil juga menyebut “positive and hardworking presence of the Christians in the kingdom [Arab Saudi]”.

Spirit dialogal

Dalam makna “dialogalitas” masuk pengertian persahabatan. Sebab, orang disebut sahabat semata berada dalam kehadirannya yang mendengarkan dan menyapa sesamanya.

Prinsip persahabatan mengenal cara pandang bahwa orang lain sesungguhnya adalah “aku yang lain.” Kecemasan orang lain (bahkan bila itu hanya dialami sebagian kecil saja) adalah kecemasan kita. Demikian juga dengan kegembiraan dan harapan mereka (Bdk. Gaudium et Spes, 1). Dari cara berpikir ini, societas lantas sekaligus memaksudkan pula cetusan sikap-sikap solidaritas. Artinya, tidak bisa dibayangkan sebuah societas dunia baik sejahtera manusiawi tanpa spirit solidaritas.

Dialogalitas mengandaikan bahasa yang merangkul. Dengan ”bahasa” tidak dimaksudkan sekedar tutur kata melainkan budaya, mentalitas, sikap-sikap negosiatif yang menyambut dan menghargai orang lain.

Emblem terpenting dialogalitas, sebagaimana menjadi spirit perjumpaan Raja Abdullah dan Paus Benediktus XVI, adalah terciptanya dialog perdamaian. “Hidup damai” tidak boleh disimplifikasi sebagai realitas tidak ada konflik. Perdamaian memaksudkan pertama-tama realitas kondusif yang melukiskan kerjasama, solidaritas, hormat dan penghargaan atas hak dan keluhuran martabat sesamanya.

Dialog perdamaian merupakan sebutan untuk kreativitas partisipatif dan efektif dari semua orang untuk menggarap tata hidup bersama.

Bahwa dunia ini adalah rumah kita bersama, juga berkat “gawe” (karya) kita bersama.


Armada Riyanto: dosen filsafat dan ketua STFT Widya Sasana, Malang.

OPINI KOMPAS, 16 November 2007

Selasa, 31 Juli 2007

Societas Negosiatif

Tata hidup bersama (societas) amat tinggi maknanya bagi manusia, semata karena memiliki karakter negosiatif, komunikatif.

Anthony Giddens menyimak, society globalised saat ini adalah societas yang menampilkan karakter negosiatif. Ketika teknologi komunikasi mendominasi kehidupan global manusia, tidak dimungkinkan lagi saat ini isolasi kebijakan yang totaliter.

Hannah Arendt memeriksa tragedi totaliterisme Hitlerian sebagai anomali yang dimungkinkan karena alpanya karakter negosiatif-komunikatif societas saat itu. Sebab, tidak satu pun orang Jerman yang akrab dikenal sebagai pemuja humanisme eksistensial-fenomenologis sejak Kant, Hegel, Fichte, Edmund Husserl sampai J Habermas memandang totaliterisme sebagai tipikal made in Germany.

Tragedi kemanusiaan

Totaliterisme adalah lawan frontal dari societas negosiatif. Ia kejam bukan semata pada tataran kebijakan, tetapi juga membuka peluang kegilaan yang mengakibatkan secara konkret tragedi kemanusiaan.

Auschwitz, Treblinka, Birkenau adalah nama-nama wilayah yang menjadi simbol ngeri holocaust, produk totaliterisme Hitlerian, di mana orang-orang Yahudi disekap dan dicekik dalam kamar gas.

Dalam communicative society, dicegah kesombongan utopis diktatorisme, totalitarianisme, tiranisme, absolutisme, chauvinisme, sektarianisme, fundamentalisme dan segala "isme" dengan aneka alasan dari teks-teks suci sekalipun.

Negosiasi mengedepankan bahasa. Bahasa bukan alat berkomunikasi, tetapi mencetuskan kebudayaan, bahkan struktur tatanan kebersamaan.

Ketika bahasa kehidupan sarat dengan terminologi ancaman dan teror, kultur relasi sehari-hari terasa menegangkan dan menyesakkan. Ketika bahasa komunikasi satu sama lain miskin kebenaran dan keadilan, tipuan dan kepalsuan mendominasi. Korupsi di mana-mana.

Inilah sebuah “kekalahan" dari bangsa miskin dalam kancah persaingan global. Bangsa miskin berkutat dalam kehidupan yang sarat kultur koruptif. Mereka bukan saja gagap dalam tawar-menawar menarik investasi, atau lambat dalam memproduksi dan memasarkan, tetapi juga tak mampu bertindak strategis.

Kebijakan kendali pemerintahan juga tak mempromosikan bahasa kehidupan yang mengedepankan keutamaan sehari-hari. Cenderung menjadi sebuah kebijakan yang selfish.

"Kembali ke laptop" ala DPR untuk masing-masing anggota dengan estimasi anggaran satu unit konon menyentuh harga 21 juta dan melubernya lumpur gas Porong yang mengobrak-abrik roda ekonomi Jatim adalah aneka suguhan menjemukan bukti "gagapnya" societas dalam bernegosiasi seputar ruwetnya persoalan bangsa sendiri.

Bangsa miskin (dalam kultur humanis) selalu kalah dalam bernegosiasi. Bukan hanya negosiasi yang menyentuh kebijakan internasional, tetapi apa yang menjadi ranah kesibukan sendiri pun, societas miskin selalu kedodoran. Mereka seperti terjajah, tergugat, bingung-linglung, tidak bisa menjadi tuan di rumah sendiri.

Negosiasi tidak hanya berupa adu argumentasi. Negosiasi juga mengatakan, pertama-tama bagaimana kehidupan ditata, dikelola, disimbolkan, dimaknai bersama. Keberhasilan segala perkara tentang keadilan tergantung implementasi kecerdasan negosiatif.

Totaliter

Totaliter, sebagai lawan frontal kecerdasan negosiatif, sebenarnya adalah ketundukan secara naif atas kekuasaan sewenang-wenang. Manusia sebagai pribadi seakan dicabut, dinisbikan. Kekompleksannya direduksi pada tingkat paling rendah dan tak manusiawi.

Dalam level jalan pikiran demikian, demo-demo nurani masyarakat Perumtas Sidoarjo menemukan alasan pembenarannya. Teriakan hati nurani pencarian keadilan memang tak mungkin dinafikan.

Apa yang terjadi di Porong-Sidoarjo adalah sebuah ujian penting tata societas negosiatif. Dan, sepertinya kita masih tampak gagap dalam negosiasi.

Ada semburan lumpur. Menurut analisis, secara konkret (tak lewat sebuah proses peradilan), semburan lumpur dipandang berasal dari bocornya (atau diakibatkan oleh) pengeboran Lapindo Brantas. Lumpur gas pada awalnya berupa sebuah tumpahan kecil. Konon, ketika masih tumpahan kecil, sengaja tak dibendung agar, setelah tanah-tanah tenggelam oleh lumpur, transaksi pembelian lahan dapat berjalan mudah dan murah. Alih-alih membendung, lumpur malah "mengalir sampai jauh", tulis Hotman Siahaan.

Ribuan warga menjadi korban. Ada tiga stakeholders yang berurusan ketat, yaitu Lapindo, pemerintah, dan masyarakat yang menjadi korban. Namun, "korban" yang dimaksud jelas tak hanya sekian ribu orang yang menderita karena rumah telah lenyap, tetapi juga masyarakat Jatim dan sekitarnya yang langsung terkena imbasnya lantaran ranah aktivitas perekonomian kini makin kacau. Pasar yang entusias mendadak menjadi lesu dan segan. Kehidupan terasa sesak dan penat.

Andai dibuatkan sebuah "kanal" ke laut dengan memanfaatkan ketinggian tanah dan perjalanannya "dikawal" rapi, tidakkah mungkin lumpur gas ditundukkan? Sebuah pengandaian semata.

Artinya, ketika berbagai teknik penyetopan lumpur menjadi kemustahilan, diperlukan sebuah kebijakan yang berpihak pada keadilan manusiawi. Artinya, negosiasi pertama-tama harus memiliki tujuan pasti, yaitu membela kehidupan manusia.

Itulah hakikat societas negosiatif.

Armada Riyanto Ketua dan Pengajar Filsafat di STFT Widya Sasana, Malang; Pengajar Phenomenological Research di Pasca-FISIP, Unair

Dikutip dari opini KOMPAS, Selasa, 15 Mei 2007

Minggu, 29 Juli 2007

"Societas" Dialogal

EMBLEM utama sebuah negara demokratis ialah terbentuknya societas dialogal. Jürgen Habermas membahasnya, communicative society. Terminologi societas memiliki akar kata bahasa Latin, socius, yang berarti ’kawan, teman, sahabat’. Makna etimologis mengekspresikan nilai etis tata hidup masyarakat, yakni kesetiakawanan dan persahabatan.

Negara demokratis (Indonesia mencanangkan diri sebagai salah satu di antaranya) secara teoretis haruslah mencetuskan atmosfer kebersamaan sebagai teman. Societas dialogal mengatakan kesempurnaan realitas tata hidup bersama sebagai kawan yang penuh dengan diskursus dan perbincangan tentang keseharian. Seperti dikatakan Benedict Anderson bahwa negara itu adalah realitas imajiner, imajinasi yang menjadi the driving force seluruh manusia Indonesia-yang demokratis ini-perlulah disimak ulang terus-menerus dalam pertanyaan mendasar, apakah Indonesia mengungkapkan nilai-nilai etis societas.

Dalam logika office of justice (sebutan untuk sistem negara penganut konstelasi hukum yang adil), kemajuan etis dialogal sebuah negara mendahului upaya-upaya kemajuan ekonomi, teknologi dan sains. Artinya, janganlah membayangkan tentang peningkatan ekonomi, selagi atmosfer societas kita tidak menampilkan suasana dialogal yang bagus.

Maju mundurnya bangsa bergantung sepenuhnya pada model dialog antarmanusianya. Dalam dialog diandaikan keanekaragaman opini dan kepentingan. Societas dialogal menghadirkan realitas bahwa masyarakat itu dewasa dalam menyikapi aneka perbedaan dan keberagaman. Tidak dalam skema menang kalah, melainkan dalam skema kebersamaan. Dalam maksud semacam inilah hukum yang adil menemukan kesempurnaan destinasinya. Hukum tidak dimaksudkan sekadar untuk mengatur, melainkan untuk mempromosikan nilai-nilai etis societas semacam itu.

SEBELUM tragedi dahsyat gempa dan tsunami di Aceh dan Nias yang terbukti menunjukkan bangsa Indonesia dan warga dunia memiliki kepekaan sosial yang masih kuat, Kompas Minggu, 31 Oktober 2004, mengungkapkan realitas Indonesia yang memprihatinkan dari perspektif etis societas demokratis. Kebersamaan kita sebagai kawan, teman, dan sahabat terasa meredup.

"Dalam Semalam Terjadi Tiga Pengeroyokan", demikian judul berita di halaman dua. Bentrokan antarnelayan Pasuruan dan Bangkalan Madura. "Perkelahian Massal di Rokan Hilir, Provinsi Riau" (hal 3). Tawuran di Demak, "Nasirin dihajar oleh belasan pemuda. Syafii yang bermaksud membantu Nasirin juga dihajar" (idem). Tawuran terjadi antarwarga Desa Margolinduk dengan warga Desa Morodemak. Akibat bentrokan itu, dua rumah warga Desa Margolinduk rusak berat.

Di halaman yang sama (Kompas Minggu 31/11/2004), persoalan seputar Sang Timur masih marak. "Warga Pasang Portal di Jalan Masuk ke Kompleks Sang Timur". "Anak- anak sekolah tetap dapat lewat. Kami hanya melarang jalan ini dilalui kendaraan bermotor karena telah mengganggu kenyamanan warga," tegas Oon Supriatma, ketua RT 04, RW 07.

Komentar Pak RT spontan terasa aneh dan mengada-ada, mengajukan kenyamanan warga sebagai alasan pemasangan portal setelah sekolah itu berjalan lebih dari sepuluh tahun?! Suster Sylvia mengeluh, "Kami mau-mau saja berdialog. Namun dengan siapa?"

Secara kuantitatif, soalnya tidak besar. Apa yang terjadi di Ciledug memang tidak seberapa dibandingkan dengan ruwetnya multidimensi persoalan Indonesia secara keseluruhan. Tetapi, dari sudut pandang negara yang mengedepankan nilai-nilai etis demokratis, perkara itu tidak bisa dipandang sepele. Hal yang sama juga aneka kasus pengeroyokan dan tawuran yang ujung-ujungnya pembakaran rumah atau penyengsaraan pihak-pihak yang lemah.

Etika hidup bersama kita telah menampilkan kebodohan pada tingkat yang mengkhawatirkan. Seakan-akan bangsa kita menjadi bangsa yang mengedepankan "otot" (berupa portal, tembok, pengeroyokan ramai-ramai, pembakaran). Dan, "otak" kita menjadi demikian terbelakang. Bahkan untuk duduk saling bicara, berdiskusi, berembuk pun kita menjadi bangsa yang ideot. Tanpa kita sadari, kita telah didominasi alpanya atmosfer kesetiakawanan dan kebersamaan.

Alpanya dialog (baca: "kecerdasan" berdialog) memproduksi anarkisme. Dalam sebuah negara yang memiliki struktur dan sistem kehidupan bersama, anarkisme dapat terjadi secara sistematis. Anarkisme bukan sebuah faham atau kengawuran, melainkan gerakan yang secara politis dimaksudkan untuk mengondisikan perubahan tatanan secara drastis, menciptakan teror, mengembuskan kebencian dan memuja pembalasan dendam.

Logika anarkisme tidak mempromosikan kebenaran. Yang menang adalah yang kuat. Yang tersingkir yang lemah. Tetapi, ketika yang lemah tersudut, sesungguhnya bukan kejayaan pihak yang kuat yang kelihatan. Yang tampak justru masyarakat itu telah terpuruk secara keseluruhan dari perspektif nilai-nilai etis apa pun (baik agamis maupun kultural). Para pejabat yang melontarkan kata-kata indah perihal kesejahteraan bersama, terasa omong kosong belaka. Aneka upacara ritual agama (apa pun), kalau pada kenyataannya terjadi pembiaran intoleransi dan ketidakadilan, menjadi amat hambar rasanya. Malahan terasa memuakkan. Kehadiran manusia Indonesia yang dikenal sebagai yang penuh senyum, malah terlihat munafik. Ia tersenyum di iklan-iklan, tetapi dalam kenyataan memuja kebrutalan, balas dendam, dan melakukan penyingkiran secara sistematis pada pihak yang lemah.

Anarkisme merupakan emblem merosotnya tata hidup bersama. Manusia tidak lagi disetir oleh idealisme imajinatif tentang nilai-nilai etis, melainkan manusia hanya makhluk yang cari menangnya sendiri dengan aneka dalih dan kepentingan. Dalam bahasa Thomas Hobbes, manusia lantas bukan lagi social animal melainkan berubah menjadi solitude animal. Makhluk yang sendirian, kesepian, sebab ia haus akan ketamakan dan vain glory (cari menangnya sendiri).

KETIKA kebersamaan kita dicemari aneka tindakan anarkis, secara logis kehidupan kita tidak menampilkan wacana kultur etis demokratis. Konsekuensinya: aneka aktivitas yang lain untuk meningkatkan kehidupan bangsa kita menjadi tersendat.

Kita tentu tidak ingin disebut bangsa yang lebih mengedepankan "otot" daripada "otak". Diperlukan wacana-wacana yang secara etis memanusiawikan tindak tanduk bangsa ini. Bukan malah menyingkirkan yang lemah atau "menang-menangan". Jika logika "pengeroyokan" yang mengemuka, yang "dikeroyok" (yang minoritas) akan tersudut, tersingkir, lenyap. Tetapi, pasti bukan logika yang demikian yang hendak kita promosikan. Kita memiliki kultur dialogal yang arif. Kearifan dialogal ini tumbuh dari rasa kebersamaan sebagai kawan, sahabat. Alangkah indahnya jika kebersamaan, kesadaran bahwa kita sama-sama menanggung berat dan sulitnya kehidupan sehari-hari ini, makin dominan.

Kata-kata Bapak Menteri Agama dalam Nuzul Alquran, 30 November 2004, sangat inspiratif, "Masyarakat manusia adalah khalifah Tuhan di bumi, dan mereka saling bertanggung jawab satu terhadap yang lain" (Kompas Minggu, 31/11/2004, hal 11). Dalam apa yang dimaksud "saling bertanggung jawab", filsuf Ortega y Gasset menambahkan makna "saling menanggung beban berat kehidupan ini secara bersama-sama." Dengan "secara bersama-sama", dimaksudkan kebenaran bahwa manusia itu tidak bisa sendirian. Artinya, manusia itu tidak bisa cari menangnya sendiri, sementara yang lain biar tersudut, tersingkir.

Imajinasi tatanan societas dialogal ialah masyarakatnya saling sebagai kawan, teman. Indonesia kita, societas dialogal?

Armada Riyanto CM Doktor Filsafat dari Universitas Gregoriana Roma, Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang

dikutip dari Kompas, Senin, 07 Februari 2005