Selasa, 31 Juli 2007

Societas Negosiatif

Tata hidup bersama (societas) amat tinggi maknanya bagi manusia, semata karena memiliki karakter negosiatif, komunikatif.

Anthony Giddens menyimak, society globalised saat ini adalah societas yang menampilkan karakter negosiatif. Ketika teknologi komunikasi mendominasi kehidupan global manusia, tidak dimungkinkan lagi saat ini isolasi kebijakan yang totaliter.

Hannah Arendt memeriksa tragedi totaliterisme Hitlerian sebagai anomali yang dimungkinkan karena alpanya karakter negosiatif-komunikatif societas saat itu. Sebab, tidak satu pun orang Jerman yang akrab dikenal sebagai pemuja humanisme eksistensial-fenomenologis sejak Kant, Hegel, Fichte, Edmund Husserl sampai J Habermas memandang totaliterisme sebagai tipikal made in Germany.

Tragedi kemanusiaan

Totaliterisme adalah lawan frontal dari societas negosiatif. Ia kejam bukan semata pada tataran kebijakan, tetapi juga membuka peluang kegilaan yang mengakibatkan secara konkret tragedi kemanusiaan.

Auschwitz, Treblinka, Birkenau adalah nama-nama wilayah yang menjadi simbol ngeri holocaust, produk totaliterisme Hitlerian, di mana orang-orang Yahudi disekap dan dicekik dalam kamar gas.

Dalam communicative society, dicegah kesombongan utopis diktatorisme, totalitarianisme, tiranisme, absolutisme, chauvinisme, sektarianisme, fundamentalisme dan segala "isme" dengan aneka alasan dari teks-teks suci sekalipun.

Negosiasi mengedepankan bahasa. Bahasa bukan alat berkomunikasi, tetapi mencetuskan kebudayaan, bahkan struktur tatanan kebersamaan.

Ketika bahasa kehidupan sarat dengan terminologi ancaman dan teror, kultur relasi sehari-hari terasa menegangkan dan menyesakkan. Ketika bahasa komunikasi satu sama lain miskin kebenaran dan keadilan, tipuan dan kepalsuan mendominasi. Korupsi di mana-mana.

Inilah sebuah “kekalahan" dari bangsa miskin dalam kancah persaingan global. Bangsa miskin berkutat dalam kehidupan yang sarat kultur koruptif. Mereka bukan saja gagap dalam tawar-menawar menarik investasi, atau lambat dalam memproduksi dan memasarkan, tetapi juga tak mampu bertindak strategis.

Kebijakan kendali pemerintahan juga tak mempromosikan bahasa kehidupan yang mengedepankan keutamaan sehari-hari. Cenderung menjadi sebuah kebijakan yang selfish.

"Kembali ke laptop" ala DPR untuk masing-masing anggota dengan estimasi anggaran satu unit konon menyentuh harga 21 juta dan melubernya lumpur gas Porong yang mengobrak-abrik roda ekonomi Jatim adalah aneka suguhan menjemukan bukti "gagapnya" societas dalam bernegosiasi seputar ruwetnya persoalan bangsa sendiri.

Bangsa miskin (dalam kultur humanis) selalu kalah dalam bernegosiasi. Bukan hanya negosiasi yang menyentuh kebijakan internasional, tetapi apa yang menjadi ranah kesibukan sendiri pun, societas miskin selalu kedodoran. Mereka seperti terjajah, tergugat, bingung-linglung, tidak bisa menjadi tuan di rumah sendiri.

Negosiasi tidak hanya berupa adu argumentasi. Negosiasi juga mengatakan, pertama-tama bagaimana kehidupan ditata, dikelola, disimbolkan, dimaknai bersama. Keberhasilan segala perkara tentang keadilan tergantung implementasi kecerdasan negosiatif.

Totaliter

Totaliter, sebagai lawan frontal kecerdasan negosiatif, sebenarnya adalah ketundukan secara naif atas kekuasaan sewenang-wenang. Manusia sebagai pribadi seakan dicabut, dinisbikan. Kekompleksannya direduksi pada tingkat paling rendah dan tak manusiawi.

Dalam level jalan pikiran demikian, demo-demo nurani masyarakat Perumtas Sidoarjo menemukan alasan pembenarannya. Teriakan hati nurani pencarian keadilan memang tak mungkin dinafikan.

Apa yang terjadi di Porong-Sidoarjo adalah sebuah ujian penting tata societas negosiatif. Dan, sepertinya kita masih tampak gagap dalam negosiasi.

Ada semburan lumpur. Menurut analisis, secara konkret (tak lewat sebuah proses peradilan), semburan lumpur dipandang berasal dari bocornya (atau diakibatkan oleh) pengeboran Lapindo Brantas. Lumpur gas pada awalnya berupa sebuah tumpahan kecil. Konon, ketika masih tumpahan kecil, sengaja tak dibendung agar, setelah tanah-tanah tenggelam oleh lumpur, transaksi pembelian lahan dapat berjalan mudah dan murah. Alih-alih membendung, lumpur malah "mengalir sampai jauh", tulis Hotman Siahaan.

Ribuan warga menjadi korban. Ada tiga stakeholders yang berurusan ketat, yaitu Lapindo, pemerintah, dan masyarakat yang menjadi korban. Namun, "korban" yang dimaksud jelas tak hanya sekian ribu orang yang menderita karena rumah telah lenyap, tetapi juga masyarakat Jatim dan sekitarnya yang langsung terkena imbasnya lantaran ranah aktivitas perekonomian kini makin kacau. Pasar yang entusias mendadak menjadi lesu dan segan. Kehidupan terasa sesak dan penat.

Andai dibuatkan sebuah "kanal" ke laut dengan memanfaatkan ketinggian tanah dan perjalanannya "dikawal" rapi, tidakkah mungkin lumpur gas ditundukkan? Sebuah pengandaian semata.

Artinya, ketika berbagai teknik penyetopan lumpur menjadi kemustahilan, diperlukan sebuah kebijakan yang berpihak pada keadilan manusiawi. Artinya, negosiasi pertama-tama harus memiliki tujuan pasti, yaitu membela kehidupan manusia.

Itulah hakikat societas negosiatif.

Armada Riyanto Ketua dan Pengajar Filsafat di STFT Widya Sasana, Malang; Pengajar Phenomenological Research di Pasca-FISIP, Unair

Dikutip dari opini KOMPAS, Selasa, 15 Mei 2007

Minggu, 29 Juli 2007

"Societas" Dialogal

EMBLEM utama sebuah negara demokratis ialah terbentuknya societas dialogal. Jürgen Habermas membahasnya, communicative society. Terminologi societas memiliki akar kata bahasa Latin, socius, yang berarti ’kawan, teman, sahabat’. Makna etimologis mengekspresikan nilai etis tata hidup masyarakat, yakni kesetiakawanan dan persahabatan.

Negara demokratis (Indonesia mencanangkan diri sebagai salah satu di antaranya) secara teoretis haruslah mencetuskan atmosfer kebersamaan sebagai teman. Societas dialogal mengatakan kesempurnaan realitas tata hidup bersama sebagai kawan yang penuh dengan diskursus dan perbincangan tentang keseharian. Seperti dikatakan Benedict Anderson bahwa negara itu adalah realitas imajiner, imajinasi yang menjadi the driving force seluruh manusia Indonesia-yang demokratis ini-perlulah disimak ulang terus-menerus dalam pertanyaan mendasar, apakah Indonesia mengungkapkan nilai-nilai etis societas.

Dalam logika office of justice (sebutan untuk sistem negara penganut konstelasi hukum yang adil), kemajuan etis dialogal sebuah negara mendahului upaya-upaya kemajuan ekonomi, teknologi dan sains. Artinya, janganlah membayangkan tentang peningkatan ekonomi, selagi atmosfer societas kita tidak menampilkan suasana dialogal yang bagus.

Maju mundurnya bangsa bergantung sepenuhnya pada model dialog antarmanusianya. Dalam dialog diandaikan keanekaragaman opini dan kepentingan. Societas dialogal menghadirkan realitas bahwa masyarakat itu dewasa dalam menyikapi aneka perbedaan dan keberagaman. Tidak dalam skema menang kalah, melainkan dalam skema kebersamaan. Dalam maksud semacam inilah hukum yang adil menemukan kesempurnaan destinasinya. Hukum tidak dimaksudkan sekadar untuk mengatur, melainkan untuk mempromosikan nilai-nilai etis societas semacam itu.

SEBELUM tragedi dahsyat gempa dan tsunami di Aceh dan Nias yang terbukti menunjukkan bangsa Indonesia dan warga dunia memiliki kepekaan sosial yang masih kuat, Kompas Minggu, 31 Oktober 2004, mengungkapkan realitas Indonesia yang memprihatinkan dari perspektif etis societas demokratis. Kebersamaan kita sebagai kawan, teman, dan sahabat terasa meredup.

"Dalam Semalam Terjadi Tiga Pengeroyokan", demikian judul berita di halaman dua. Bentrokan antarnelayan Pasuruan dan Bangkalan Madura. "Perkelahian Massal di Rokan Hilir, Provinsi Riau" (hal 3). Tawuran di Demak, "Nasirin dihajar oleh belasan pemuda. Syafii yang bermaksud membantu Nasirin juga dihajar" (idem). Tawuran terjadi antarwarga Desa Margolinduk dengan warga Desa Morodemak. Akibat bentrokan itu, dua rumah warga Desa Margolinduk rusak berat.

Di halaman yang sama (Kompas Minggu 31/11/2004), persoalan seputar Sang Timur masih marak. "Warga Pasang Portal di Jalan Masuk ke Kompleks Sang Timur". "Anak- anak sekolah tetap dapat lewat. Kami hanya melarang jalan ini dilalui kendaraan bermotor karena telah mengganggu kenyamanan warga," tegas Oon Supriatma, ketua RT 04, RW 07.

Komentar Pak RT spontan terasa aneh dan mengada-ada, mengajukan kenyamanan warga sebagai alasan pemasangan portal setelah sekolah itu berjalan lebih dari sepuluh tahun?! Suster Sylvia mengeluh, "Kami mau-mau saja berdialog. Namun dengan siapa?"

Secara kuantitatif, soalnya tidak besar. Apa yang terjadi di Ciledug memang tidak seberapa dibandingkan dengan ruwetnya multidimensi persoalan Indonesia secara keseluruhan. Tetapi, dari sudut pandang negara yang mengedepankan nilai-nilai etis demokratis, perkara itu tidak bisa dipandang sepele. Hal yang sama juga aneka kasus pengeroyokan dan tawuran yang ujung-ujungnya pembakaran rumah atau penyengsaraan pihak-pihak yang lemah.

Etika hidup bersama kita telah menampilkan kebodohan pada tingkat yang mengkhawatirkan. Seakan-akan bangsa kita menjadi bangsa yang mengedepankan "otot" (berupa portal, tembok, pengeroyokan ramai-ramai, pembakaran). Dan, "otak" kita menjadi demikian terbelakang. Bahkan untuk duduk saling bicara, berdiskusi, berembuk pun kita menjadi bangsa yang ideot. Tanpa kita sadari, kita telah didominasi alpanya atmosfer kesetiakawanan dan kebersamaan.

Alpanya dialog (baca: "kecerdasan" berdialog) memproduksi anarkisme. Dalam sebuah negara yang memiliki struktur dan sistem kehidupan bersama, anarkisme dapat terjadi secara sistematis. Anarkisme bukan sebuah faham atau kengawuran, melainkan gerakan yang secara politis dimaksudkan untuk mengondisikan perubahan tatanan secara drastis, menciptakan teror, mengembuskan kebencian dan memuja pembalasan dendam.

Logika anarkisme tidak mempromosikan kebenaran. Yang menang adalah yang kuat. Yang tersingkir yang lemah. Tetapi, ketika yang lemah tersudut, sesungguhnya bukan kejayaan pihak yang kuat yang kelihatan. Yang tampak justru masyarakat itu telah terpuruk secara keseluruhan dari perspektif nilai-nilai etis apa pun (baik agamis maupun kultural). Para pejabat yang melontarkan kata-kata indah perihal kesejahteraan bersama, terasa omong kosong belaka. Aneka upacara ritual agama (apa pun), kalau pada kenyataannya terjadi pembiaran intoleransi dan ketidakadilan, menjadi amat hambar rasanya. Malahan terasa memuakkan. Kehadiran manusia Indonesia yang dikenal sebagai yang penuh senyum, malah terlihat munafik. Ia tersenyum di iklan-iklan, tetapi dalam kenyataan memuja kebrutalan, balas dendam, dan melakukan penyingkiran secara sistematis pada pihak yang lemah.

Anarkisme merupakan emblem merosotnya tata hidup bersama. Manusia tidak lagi disetir oleh idealisme imajinatif tentang nilai-nilai etis, melainkan manusia hanya makhluk yang cari menangnya sendiri dengan aneka dalih dan kepentingan. Dalam bahasa Thomas Hobbes, manusia lantas bukan lagi social animal melainkan berubah menjadi solitude animal. Makhluk yang sendirian, kesepian, sebab ia haus akan ketamakan dan vain glory (cari menangnya sendiri).

KETIKA kebersamaan kita dicemari aneka tindakan anarkis, secara logis kehidupan kita tidak menampilkan wacana kultur etis demokratis. Konsekuensinya: aneka aktivitas yang lain untuk meningkatkan kehidupan bangsa kita menjadi tersendat.

Kita tentu tidak ingin disebut bangsa yang lebih mengedepankan "otot" daripada "otak". Diperlukan wacana-wacana yang secara etis memanusiawikan tindak tanduk bangsa ini. Bukan malah menyingkirkan yang lemah atau "menang-menangan". Jika logika "pengeroyokan" yang mengemuka, yang "dikeroyok" (yang minoritas) akan tersudut, tersingkir, lenyap. Tetapi, pasti bukan logika yang demikian yang hendak kita promosikan. Kita memiliki kultur dialogal yang arif. Kearifan dialogal ini tumbuh dari rasa kebersamaan sebagai kawan, sahabat. Alangkah indahnya jika kebersamaan, kesadaran bahwa kita sama-sama menanggung berat dan sulitnya kehidupan sehari-hari ini, makin dominan.

Kata-kata Bapak Menteri Agama dalam Nuzul Alquran, 30 November 2004, sangat inspiratif, "Masyarakat manusia adalah khalifah Tuhan di bumi, dan mereka saling bertanggung jawab satu terhadap yang lain" (Kompas Minggu, 31/11/2004, hal 11). Dalam apa yang dimaksud "saling bertanggung jawab", filsuf Ortega y Gasset menambahkan makna "saling menanggung beban berat kehidupan ini secara bersama-sama." Dengan "secara bersama-sama", dimaksudkan kebenaran bahwa manusia itu tidak bisa sendirian. Artinya, manusia itu tidak bisa cari menangnya sendiri, sementara yang lain biar tersudut, tersingkir.

Imajinasi tatanan societas dialogal ialah masyarakatnya saling sebagai kawan, teman. Indonesia kita, societas dialogal?

Armada Riyanto CM Doktor Filsafat dari Universitas Gregoriana Roma, Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang

dikutip dari Kompas, Senin, 07 Februari 2005