Minggu, 29 Juli 2007

"Societas" Dialogal

EMBLEM utama sebuah negara demokratis ialah terbentuknya societas dialogal. Jürgen Habermas membahasnya, communicative society. Terminologi societas memiliki akar kata bahasa Latin, socius, yang berarti ’kawan, teman, sahabat’. Makna etimologis mengekspresikan nilai etis tata hidup masyarakat, yakni kesetiakawanan dan persahabatan.

Negara demokratis (Indonesia mencanangkan diri sebagai salah satu di antaranya) secara teoretis haruslah mencetuskan atmosfer kebersamaan sebagai teman. Societas dialogal mengatakan kesempurnaan realitas tata hidup bersama sebagai kawan yang penuh dengan diskursus dan perbincangan tentang keseharian. Seperti dikatakan Benedict Anderson bahwa negara itu adalah realitas imajiner, imajinasi yang menjadi the driving force seluruh manusia Indonesia-yang demokratis ini-perlulah disimak ulang terus-menerus dalam pertanyaan mendasar, apakah Indonesia mengungkapkan nilai-nilai etis societas.

Dalam logika office of justice (sebutan untuk sistem negara penganut konstelasi hukum yang adil), kemajuan etis dialogal sebuah negara mendahului upaya-upaya kemajuan ekonomi, teknologi dan sains. Artinya, janganlah membayangkan tentang peningkatan ekonomi, selagi atmosfer societas kita tidak menampilkan suasana dialogal yang bagus.

Maju mundurnya bangsa bergantung sepenuhnya pada model dialog antarmanusianya. Dalam dialog diandaikan keanekaragaman opini dan kepentingan. Societas dialogal menghadirkan realitas bahwa masyarakat itu dewasa dalam menyikapi aneka perbedaan dan keberagaman. Tidak dalam skema menang kalah, melainkan dalam skema kebersamaan. Dalam maksud semacam inilah hukum yang adil menemukan kesempurnaan destinasinya. Hukum tidak dimaksudkan sekadar untuk mengatur, melainkan untuk mempromosikan nilai-nilai etis societas semacam itu.

SEBELUM tragedi dahsyat gempa dan tsunami di Aceh dan Nias yang terbukti menunjukkan bangsa Indonesia dan warga dunia memiliki kepekaan sosial yang masih kuat, Kompas Minggu, 31 Oktober 2004, mengungkapkan realitas Indonesia yang memprihatinkan dari perspektif etis societas demokratis. Kebersamaan kita sebagai kawan, teman, dan sahabat terasa meredup.

"Dalam Semalam Terjadi Tiga Pengeroyokan", demikian judul berita di halaman dua. Bentrokan antarnelayan Pasuruan dan Bangkalan Madura. "Perkelahian Massal di Rokan Hilir, Provinsi Riau" (hal 3). Tawuran di Demak, "Nasirin dihajar oleh belasan pemuda. Syafii yang bermaksud membantu Nasirin juga dihajar" (idem). Tawuran terjadi antarwarga Desa Margolinduk dengan warga Desa Morodemak. Akibat bentrokan itu, dua rumah warga Desa Margolinduk rusak berat.

Di halaman yang sama (Kompas Minggu 31/11/2004), persoalan seputar Sang Timur masih marak. "Warga Pasang Portal di Jalan Masuk ke Kompleks Sang Timur". "Anak- anak sekolah tetap dapat lewat. Kami hanya melarang jalan ini dilalui kendaraan bermotor karena telah mengganggu kenyamanan warga," tegas Oon Supriatma, ketua RT 04, RW 07.

Komentar Pak RT spontan terasa aneh dan mengada-ada, mengajukan kenyamanan warga sebagai alasan pemasangan portal setelah sekolah itu berjalan lebih dari sepuluh tahun?! Suster Sylvia mengeluh, "Kami mau-mau saja berdialog. Namun dengan siapa?"

Secara kuantitatif, soalnya tidak besar. Apa yang terjadi di Ciledug memang tidak seberapa dibandingkan dengan ruwetnya multidimensi persoalan Indonesia secara keseluruhan. Tetapi, dari sudut pandang negara yang mengedepankan nilai-nilai etis demokratis, perkara itu tidak bisa dipandang sepele. Hal yang sama juga aneka kasus pengeroyokan dan tawuran yang ujung-ujungnya pembakaran rumah atau penyengsaraan pihak-pihak yang lemah.

Etika hidup bersama kita telah menampilkan kebodohan pada tingkat yang mengkhawatirkan. Seakan-akan bangsa kita menjadi bangsa yang mengedepankan "otot" (berupa portal, tembok, pengeroyokan ramai-ramai, pembakaran). Dan, "otak" kita menjadi demikian terbelakang. Bahkan untuk duduk saling bicara, berdiskusi, berembuk pun kita menjadi bangsa yang ideot. Tanpa kita sadari, kita telah didominasi alpanya atmosfer kesetiakawanan dan kebersamaan.

Alpanya dialog (baca: "kecerdasan" berdialog) memproduksi anarkisme. Dalam sebuah negara yang memiliki struktur dan sistem kehidupan bersama, anarkisme dapat terjadi secara sistematis. Anarkisme bukan sebuah faham atau kengawuran, melainkan gerakan yang secara politis dimaksudkan untuk mengondisikan perubahan tatanan secara drastis, menciptakan teror, mengembuskan kebencian dan memuja pembalasan dendam.

Logika anarkisme tidak mempromosikan kebenaran. Yang menang adalah yang kuat. Yang tersingkir yang lemah. Tetapi, ketika yang lemah tersudut, sesungguhnya bukan kejayaan pihak yang kuat yang kelihatan. Yang tampak justru masyarakat itu telah terpuruk secara keseluruhan dari perspektif nilai-nilai etis apa pun (baik agamis maupun kultural). Para pejabat yang melontarkan kata-kata indah perihal kesejahteraan bersama, terasa omong kosong belaka. Aneka upacara ritual agama (apa pun), kalau pada kenyataannya terjadi pembiaran intoleransi dan ketidakadilan, menjadi amat hambar rasanya. Malahan terasa memuakkan. Kehadiran manusia Indonesia yang dikenal sebagai yang penuh senyum, malah terlihat munafik. Ia tersenyum di iklan-iklan, tetapi dalam kenyataan memuja kebrutalan, balas dendam, dan melakukan penyingkiran secara sistematis pada pihak yang lemah.

Anarkisme merupakan emblem merosotnya tata hidup bersama. Manusia tidak lagi disetir oleh idealisme imajinatif tentang nilai-nilai etis, melainkan manusia hanya makhluk yang cari menangnya sendiri dengan aneka dalih dan kepentingan. Dalam bahasa Thomas Hobbes, manusia lantas bukan lagi social animal melainkan berubah menjadi solitude animal. Makhluk yang sendirian, kesepian, sebab ia haus akan ketamakan dan vain glory (cari menangnya sendiri).

KETIKA kebersamaan kita dicemari aneka tindakan anarkis, secara logis kehidupan kita tidak menampilkan wacana kultur etis demokratis. Konsekuensinya: aneka aktivitas yang lain untuk meningkatkan kehidupan bangsa kita menjadi tersendat.

Kita tentu tidak ingin disebut bangsa yang lebih mengedepankan "otot" daripada "otak". Diperlukan wacana-wacana yang secara etis memanusiawikan tindak tanduk bangsa ini. Bukan malah menyingkirkan yang lemah atau "menang-menangan". Jika logika "pengeroyokan" yang mengemuka, yang "dikeroyok" (yang minoritas) akan tersudut, tersingkir, lenyap. Tetapi, pasti bukan logika yang demikian yang hendak kita promosikan. Kita memiliki kultur dialogal yang arif. Kearifan dialogal ini tumbuh dari rasa kebersamaan sebagai kawan, sahabat. Alangkah indahnya jika kebersamaan, kesadaran bahwa kita sama-sama menanggung berat dan sulitnya kehidupan sehari-hari ini, makin dominan.

Kata-kata Bapak Menteri Agama dalam Nuzul Alquran, 30 November 2004, sangat inspiratif, "Masyarakat manusia adalah khalifah Tuhan di bumi, dan mereka saling bertanggung jawab satu terhadap yang lain" (Kompas Minggu, 31/11/2004, hal 11). Dalam apa yang dimaksud "saling bertanggung jawab", filsuf Ortega y Gasset menambahkan makna "saling menanggung beban berat kehidupan ini secara bersama-sama." Dengan "secara bersama-sama", dimaksudkan kebenaran bahwa manusia itu tidak bisa sendirian. Artinya, manusia itu tidak bisa cari menangnya sendiri, sementara yang lain biar tersudut, tersingkir.

Imajinasi tatanan societas dialogal ialah masyarakatnya saling sebagai kawan, teman. Indonesia kita, societas dialogal?

Armada Riyanto CM Doktor Filsafat dari Universitas Gregoriana Roma, Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang

dikutip dari Kompas, Senin, 07 Februari 2005

Tidak ada komentar: