Senin, 19 November 2007

Dialog Raja Abdullah dan Paus

Jika ditanya the wind of change di tahun 2007 yang menjanjikan masa depan, para pakar berita dunia sepakat menyebut: perjumpaan dialogal Raja Abdullah dari Arab Saudi dengan Sri Paus Benediktus XVI di Vatikan awal November. Sebuah perjumpaan yang digambarkan sebagai “cordial meeting that allowed them to touch on topics close to their hearts”.

Ketika manusia adalah hatinya, dialog yang mengubah dan menjanjikan perubahan tata dunia adalah dialog dari hati ke hati itu sendiri. Demikian dialog Raja Abdullah dengan Sri Paus di Vatikan.

Sejak tata dunia dipondasikan pada prinsip-prinsip fenomenologis pengalaman manusiawi, kehidupan societas dunia telah dan makin bergeser secara ajaib kepada kolaborasi, co-eksistensi, dialogalisasi. Societas dialogal adalah cita-cita sekaligus melukiskan sebuah karakter keakraban humanis tata hidup bersama manusia-manusia yang by nature (dari kodratnya) plural dan, karenanya, dialogal.

Keindahan hidup manusia pertama-tama terletak pada ekspresi kebersamaannya. Sebuah aktivitas peminggiran manusia lain adalah kenaifan. Dan, kebersamaan yang paling indah itu berada dalam ranah dialogal kehidupan.

Historical Breakthrough

Rupanya sudah sejak lama pribadi Raja Abdullah menampilkan karakter dialogal. Ketika masih sebagai Putera Mahkota, pada tahun 1999 ia pernah berjumpa dengan almarhum Paus Yohanes Paulus II di Vatikan. Tetapi, kehadirannya kali ini merepresentasikan sebuah peristiwa breakthrough pertama kali dalam peradaban sejarah relasi Vatikan dan Arab Saudi khususnya serta dunia Islam dan Katolik pada umumnya. Dialogalitas Raja Abdullah mengalir dari kharisma pribadinya.

Sementara itu, cordially welcoming dari Sri Paus Benediktus XVI berada dalam ranah dialogalitas Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II. Sri Paus pernah sangat prihatin berkaitan dengan political misleading atas kuliahnya di Regensburg beberapa waktu yang lalu. Ketika Almarhum Yohanes Paulus II gencar mempromosikan dialog perdamaian dengan semua umat beragama, Kardinal Joseph Ratzinger (kini Benediktus XVI) adalah rekan-promotor yang secara doktrinal-intelektual-spiritual hand in hand bersamanya.

Raja Abdullah dan Benediktus XVI adalah dua Pangeran di planet kita yang percaya bahwa the wind of change itu bernama dialog. Tata dunia tidak bisa diubah oleh kekerasan, dominasi kekuatan militer, pembasmian atau penyudutan kelompok yang satu oleh kelompok yang lain. Perubahan tata dunia memiliki komponen karakteristik dialogal. Bukan invasif, tetapi kolaboratif.

Relevansi

Kendati kolonialisme telah punah, invasi dan kekerasan toh kian menjadi-jadi. Sebagian pemimpin dunia malah secara naif di sana sini masih meyakini diktatorisme dan totaliterisme dengan aneka bungkus “demi keamanan” nasional dan internasional. Pada intinya semuanya mengatakan pelenyapan kodrat dialogalitas manusia.

Kebrutalan di Myanmar, kekerasan di Pakistan dan satu dua negara Amerika Latin serta beberapa di Afrika, di luar konflik Timur Tengah, merupakan contoh aktualnya. Dalam ranah komunitas pluri-religius, tatanan pun makin menampilkan kecenderungan eksklusivisme, komunalisme, monolitisme, bahkan anarkhisme (seperti beberapa kasus di beberapa wilayah tanah air kita belakangan ini).

Kendati antara Vatikan dan Saudi Arabia belum ada relasi diplomatik, pertemuan in cordial atmosphere dari Raja Abdullah dan Sri Paus Benediktus XVI memiliki pesan dan makna relevan yang menjanjikan masa depan bagi: perdamaian relasi Arab dan Barat, perbaikan ruang hak asasi manusia di jazirah Arab untuk sekedar dapat melaksanakan hak-hak religiusnya, solusi perdamaian yang tidak mudah di Palestina dan Israel, dan relasi umat beragama di planet kita.

Jurubicara Vatikan melukiskannya demikian, “In particular they renewed their commitment to inter-cultural and inter-religious dialogue, aimed at peace and fruitful cohabitation among men and people, and the value of collaboration between Christians, Muslims and Jews for the promotion of peace, justice and spiritual and moral values” (l’Osservatore Romano, 8 November 2007).

Di akhir perjumpaan, Sri Paus berdoa semoga seluruh rakyat Arab Saudi tetap diberkati dengan kelimpahan dan kesejahteraan, sambil juga menyebut “positive and hardworking presence of the Christians in the kingdom [Arab Saudi]”.

Spirit dialogal

Dalam makna “dialogalitas” masuk pengertian persahabatan. Sebab, orang disebut sahabat semata berada dalam kehadirannya yang mendengarkan dan menyapa sesamanya.

Prinsip persahabatan mengenal cara pandang bahwa orang lain sesungguhnya adalah “aku yang lain.” Kecemasan orang lain (bahkan bila itu hanya dialami sebagian kecil saja) adalah kecemasan kita. Demikian juga dengan kegembiraan dan harapan mereka (Bdk. Gaudium et Spes, 1). Dari cara berpikir ini, societas lantas sekaligus memaksudkan pula cetusan sikap-sikap solidaritas. Artinya, tidak bisa dibayangkan sebuah societas dunia baik sejahtera manusiawi tanpa spirit solidaritas.

Dialogalitas mengandaikan bahasa yang merangkul. Dengan ”bahasa” tidak dimaksudkan sekedar tutur kata melainkan budaya, mentalitas, sikap-sikap negosiatif yang menyambut dan menghargai orang lain.

Emblem terpenting dialogalitas, sebagaimana menjadi spirit perjumpaan Raja Abdullah dan Paus Benediktus XVI, adalah terciptanya dialog perdamaian. “Hidup damai” tidak boleh disimplifikasi sebagai realitas tidak ada konflik. Perdamaian memaksudkan pertama-tama realitas kondusif yang melukiskan kerjasama, solidaritas, hormat dan penghargaan atas hak dan keluhuran martabat sesamanya.

Dialog perdamaian merupakan sebutan untuk kreativitas partisipatif dan efektif dari semua orang untuk menggarap tata hidup bersama.

Bahwa dunia ini adalah rumah kita bersama, juga berkat “gawe” (karya) kita bersama.


Armada Riyanto: dosen filsafat dan ketua STFT Widya Sasana, Malang.

OPINI KOMPAS, 16 November 2007

Tidak ada komentar: